Rabu, 06 Maret 2019

Mengenal Supementasi Vitamin D

Defisiensi vitamin D dapat terjadi pada segala umur, hal ini sering terjadi pada orang-orang yang hidup dalam 4 musim atau daerah dengan waktu matahari bersinar hanya sebentar. Pada orang-orang yang hidup dalam kondisi demikan memerlukan suplemen pengganti vitamin D yang berasal dari luar, karena kita ketahui bahwa vitamin D dibentuk sendiri oleh tubuh kita dari sinar matahari selain yang didapat dari makanan, hal ini yang menyebabkan sering terjadinya penyakit-penyakit osteomalacia dan riketsia. Untuk di Indonesia kasus-kasus ini dapat dikatakan sangat jarang karena sinar matahari selalu bersinar dan ada sepanjang siang hari.

Perlu diingat bahwa Vitamin D sangat berperan penting dalam pembentukan mineralisasi tulang bersama dengan kalsium dan fosfor. Sehingga selain diberikannya suplemen dalam bentuk kalsium perlu diingatkan bahwa pentingnya berjemur dan asupan vitamin D untuk pembentukan mineralisasi pada tulang. 

Siapa saja yang memiliki risiko mengalami defisiensi vitamin D, sebuah artikel membahasnya secara lengkap, akan saya bagi menjadi 2 bagian yang kebutuhannya ringan dan kebutuhan yang tinggi,  yaitu :1,2

Kebutuhan yang ringan (mengingat wilayah Indonesia disinari matahari sepanjang siang hari)
  • Anak-anak seluruh usia
  • Wanita hamil dan ibu menyusui
  • Orang yang obesitas
  • Orang dengan osteoporosis, osteomalacia atau orang tua
Kebutuhan yang tinggi (mengingat terjadinya defisiensi vitamin D karena metabolisme yang terganggu di dalam tubuhnya) :

  • Orang dengan dengan sindroma malabsorbsi (cystic fibrosis, crohn’s disease atau inflammatory bowel disease) 
  • Orang yang melakukan bariatric surgery 
  • Orang dengan gagal ginjal kronis 
  • Orang dengan gagal organ hati 
  • Orang dengan gangguan connective tissue disease (Syndrome Lupus Erithematosus, Idiopathic inflammatory myopathy, Sjorgen syndrome)

Pada pasien yang memiliki gangguan malabsorpsi sudah jelas akan terjadi gangguan penyerapan vitamin D dari makanan namun untuk di Indonesia masih terbantu dengan adanya sinar matahari sepanjang siang hari, pada pasien yang melakukan bariatric surgery yaitu operasi pengangkatan lemak bawah kulit yang berlebihan dengan tujuan menguruskan badan dalam hal ini dapat terjadi defisiensi vitamin D dikarenakan vitamin D secara fisiologis disimpan dalam sel lemak.


Gangguan organ hati dan ginjal juga dapat menimbulkan defisiensi vitamin D dikarenakan vitamin D dimetabolisme menjadi aktif di hati dan ginjal, sehingga akan terjadi gangguan metabolisme vitamin D, kalsium dan fosfat dalam pembentukan mineralisasi tulang.

Yang akan kita bahas lebih dalam adalah pada gangguan connective tissue disease (CTD) (yaitu Syndrome Lupus Erithematosus, Idiopathic inflammatory myopathy, Sjorgen syndrome). Berdasarkan survei dan informasi dari beberapa dokter kebutuhan vitamin D pada pasien-pasien autoimmune khususnya SLE cukup tinggi, dikarenakan ditemukan kadar yang rendah pada penyakit-penyakit tersebut didalam darah dan diduga pemberian vitamin D dapat mengurangi perkembangan gejala dari SLE.Prevalensi defisiensi vitamin D pada penyakit Syndrome Lupus Erithematosus(SLE), beberapa penelitian membuktikan terjadinya defisiensi pada pasien-pasien ini. Sebuah penelitian membandingkan dengan subjek yang sehat sekitar 86% subjek SLE mengalami defisiensi vitamin D.2

Hubungan sebenarnya antara vitamin D dan inflamasi masih belum dapat ditentukan.  CTD adalah penyakit kronis yang menyebabkan mobilitas pasien menjadi sangat berkurang. Pada subjek sehat, pengurangan aktivitas fisik dan berkurangnya paparan sinar matahari berperan penting dalam terjadinya defisiensi vitamin D. Hal ini sangat relevan dimana pasien SLE sangat fotosensitif dan direkomendasikan menghindari paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya (sunblock) yang terus menerus.2

Penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antara defisiensi vitamin D dan penyakit autoimun adalah bahwa 25(OH)D dapat bertindak sebagai fase akut reaktan yang bersifat negatif. Dalam sebuah meta analisis, rendahnya serum 25(OH)D dilaporkan mengikuti kejadian akut (termasuk operasi ortopedi dan pancreatitis akut) pada 6/8 penelitian, sering dikaitkan dengan penurunan serum albumin dan peningkatan CRP. Hal ini diperkirakan karena berkurangnya kadar protein yang mengikat vitamin D.2

Oleh karena penjelasan diatas, masuk diakal bahwa defisiensi vitamin D dapat mendorong perkembangan penyakit autoimun dan meningkatkan respon inflamasi. Sebuah penelitian mengidentifikasi rendahnya serum 23(OH)D pada pasien SLE dibandingkan dengan subjek sehat dan diperkirakan defisiensi vitamin D menjadi faktor risiko perkembangan dari SLE. Selanjutnya, perbedaan kadar vitamin D hanya signifikan secara statistika untuk pasien kaukasia (62% pada penelitian cohort). Dalam kaitannya dengan perkembangan autoimunitas, sebuah penelitian kecil cross-sectional dari European American menemukan peningkatan defisiensi vitamin D secara bermakna pada pasien antinuclear antibody (ANA) positif dibandingkan subjek sehat dengan ANA negatif.2

Defisiensi vitamin D didefinisikan berdasarkan US endocrine society guideline, dikatakan defisiensi bila 25(OH)D dalam darah kurang dari 20 ng/mL (50 nmol/L), dikatakan kurang bila 21-29 ng/mL (525-725 nmol/L) dan dikatakan cukup antara 30-100 ng/mL.3

Kebutuhan vitamin D berdasarkan nilai acuan label gizi pangan olahan yang dikeluarkan oleh BPOM RI yaitu 0-11 bulan adalah 5 mcg (5000 ng atau 200 IU) dan untuk usia 1 tahun, umum (dewasa), ibu hamil dan menyusui adalah 15 mcg (5000 ng atau 600 IU).4

Berikut ini adalah bentuk-bentuk produk metabolik atau versi modifikasi vitamin D :5
















Pilihan supplemen yang biasa digunakan adalah oral calciferol dalam bentuk ergocalciferol (Derivat vitamin D2 yang berasal dari ragi) atau colecalciferol (derivate vitamin D3 yang berasal dari ikan atau lanolin), bentuk colecalciferol ini yang paling disukai, karena secara kimiawi mirip dengan bentuk vitamin D yang diproduksi oleh tubuh dan lebih efektif dibandingkan D2 dalam meningkatkan konsentrasi vitamin D dalam darah.5

Begitu konsentrasi darah yang diinginkan tercapai, kebanyakan orang dapat mempertahankannya dengan 800-1000 IU vitamin D setiap harinya. Meskipun dosis sampai 10.000 IU setiap hari tidak menyebabkan toksisitas, umumnya tidak disarankan untuk mengkonsumsi lebih dari 2.000 IU setiap hari dalam bentuk suplemen tanpa saran dari dokter. Individu dengan risiko tinggi kekurangan vitamin D sebaiknya di tes dahulu, dosis hingga 3000 – 4000 IU mungkin diperlukan untuk mengembalikan konsentrasi vitamin D dalam darah.

Referensi :
1. DeNoon D J. New guidelines suggest higer doses of vitamin D. Available from : http://www.webmd.com/diet/news/20110606/new-guidelines-suggest-higher-doses-of-vitamin-d#1.
2. Reynolds J A, Bruce I N. Vitamin D treatment for connective tissue disease-hope beyond the hype. Rheumatology. 2017; 56(2):178-
3. Holick M F, Binkley N C, Bischoff-Ferrari H A, Gordon C M, Hanley D A, Heaney R P, et al. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D deficiency: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96 (7): 1911-30.
4. Peraturan BPOM RI tentang acuan label gizi. 2016.
5. Gonzales C. Vitamin D supplementation: an update. US Pharmacist. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/731722_2.

2 komentar:

  1. Sinar matahari untuk pembentukan vitamin D dalam tubuh ini apakah sinar matahari di sepanjang hari ato di waktu tertentu saja misal sinar matahari pagi?

    Apabila menggunakan sunblok, apakah akan mengganggu paparan sinar matahari yg penting untuk pembentukan vitamin D?

    BalasHapus
  2. UVB adalah yang diperlukan kulit untuk mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi Cholecalciferol (vit D3) di kulit.
    UVB terdapat disepanjang waktu pancaran sinar matahari, yang terpenting tidak berlebihan karena dapat menyebabkan sunburn.
    Tentunya sunblock menyebabkan sinar matahari tidak sampai pada kulit dalam memetabolisme vitamin D.

    BalasHapus