Senin, 25 Maret 2019

Arthritis dan Pengobatannya


Arthritis atau biasa disebut reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya. Masyarakat pada umumnya menganggap reumatik adalah penyakit sepele karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, jika tidak segera ditangani reumatik bisa membuat anggota tubuh menjadi tidak berfungsi dengan normal, mulai dari tonjolan-tonjolan pada sendi, sendi kaku, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. Rasa sakit yang timbul bisa sangat mengganggu dan membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari.1

Menurut data tahun 2009, angka prevalensi reumatik nasional adalah sebesar 32,2%, prevalensi reumatik tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Jawa Barat yaitu 41,7% diikuti oleh Provinsi Papua Barat sebanyak 38,2% dan Nusa Tenggara Timur 38%. Prevalensi reumatik terendah terdapat di provinsi Sumatera Utara sebanyak 20,2% dan Kepulauan Riau sebanyak 17,6%. Terdapat sembilan provinsi, yaitu NAD, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Kalimatan Selatan dan Papua Barat, dengan angka prevalensi reumatik di atas angka Nasional. Sedangkan yang berada dibawah angka prevalensi nasional ada 24 provinsi.1

Reumatik merupakan salah satu penyebab nyeri sendi, khususnya sendi-sendi kecil didaerah pergelangan tangan dan jari-jari. Keluhan kaku, nyeri dan bengkak akibat penyakit reumatik dapat berlangsung terus menerus dan semakin lama semakin berat, tetapi ada kalanya hanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan pengobatan. Namun demikian, kebanyakan penyakit reumatik berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Keluhan kaku dan nyeri sendi pada penyakit reumatik adakalanya disertai oleh perasaan mudah lelah
.1

Pada 13 Desember 2016 EULAR mengeluarkan rekomendasi untuk penatalaksanaan awal pada arthritis, berikut ini adalah rekomendasi EULAR 2016 untuk penatalaksanaan awal pada arthritis :2
  1. Pasien yang memperlihatkan gejala arthritis (pembengkakan pada sendi-sendi, dengan sakit atau kekakuan) harus dipastikan, dan dilihat oleh rheumatologist, selama 6 minggu dari awal setelah munculnya gejala.
  2. Pemeriksaan klinis merupakan pilihan metode dalam mendeteksi arthritis, yang dapat dikonfirmasi menggunakan ultrasonography.
  3. Jika diagnosa pasti belum dapat ditegakan dan pasien dengan diagnose awal arthritis undifferentiated sebaiknya dipertimbangkan dalam keputusan pengobatan bila terdapat, faktor risiko untuk menjadi penyakit presisten dan/atau erosive, termasuk jumlah sendi yang bengkak, fase reaksi akut, faktor reumatik, ACPA (Anticitrullinated peptide antibodies) dan penemuan imaging.
  4. Pasien yang memiliki resiko presisten arthritis sebaiknya dimulai dengan pengobatan DMARD (Disease-modifiying antirheumatic drugs) secepatnya (idealnya dalam 3 bulan), meskipun jika belum memenuhi kriteria klasifikasi penyakit reumatik.
  5. Diantara DMARD, methotrexate dianggap menjadi obat utama, kecuali kontraindikasi, sebaiknya menjadi bagian strategi pengobatan pertama pada pasien yang memiliki risiko penyakit presisten.
  6. NSAID (Non Steroid Anti Inflamastory Drugs) efektif dalam pengobatan gejala tetapi sebaiknya digunakan pada minimum dosis efektif dengan waktu yang pendek, setelah dilakukan  evaluasi risiko gastrointestinal, ginjal dan kardiovaskuler.
  7. Glukokotrikoid sistemik mengurangi nyeri, pembengkakan dan perubahan struktur yang progressive, tetapi dengan efek samping yang banyak, sebaiknya digunakan pada dosis terendah sementara (<6 bulan) sebagai pengobatan tambahan. Injeksi intra artikular glukokortikoid sebaiknya dipertimbangkan untuk mengurangi inflamasi lokal yang terjadi.
  8. Goal utama dari pengobatan DMARD adalah tercapainya remisi klinis, dan monitoring aktivitas reguler penyakit, efek samping dan komorbitas sebaiknya menjadi pertimbangan dalam panduan keputusan dan merubah strategi pengobatan untuk mencapai target.
  9. Monitoring aktifitas penyakit sebaiknya memperhitungkan sendi yang rusak dan bengkak, penilaian secara umum pasien dan dokter, ESR (Erythrocyte sedimentation rate) dan CRP (C reactive protein), biasanya dengan menerapkan pengukuran gabungan. Aktivitas arthritis sebaiknya dinilai dalam interval 1-3 bulan sampai target pengobatan diraih. Hasil radiologi dan masukan pasien dinilai, seperti penilaian fungsi, dapat digunakan untuk pemantauan tambahan pengelolaan penyakit.
  10. Intervensi non-farmakologi, seperti latihan yang dinamis dan terapi okupasional, sebaiknya dipertimbangkan sebagai tambahan dalam pengobatan pada pasien dengan awal arthritis.
  11. Merokok dihentikan, perawatan gigi, kontrol berat badan, penilaian status vaksin dan pengelolaan kormobid sebaiknya menjadi bagian perawatan pasien keseluruhan pada pasein dengan awal arthritis. 
  12. Informasi pasien mengenai penyakit, hasil (termasuk kormobid) dan pengobatan adalah penting. Program edukasi yang bertujuan untuk mengatasi rasa sakit, disabilitas, kemampuan pemeliharaan untuk bekerja dan partisipasi sosial dapat digunakan sebagai intervensi tambahan.
Pada rekomendasi diatas disebutkan bahwa golongan DMARD merupakan pilihan utama dalam kasus awal arthritis. DMARD memiliki kepanjangan adalah Disease-Modifying Antirheumatic Drugs. Disease-modifying drugs bertindak pada sistem imun dalam memperlambat progres dari rheumatoid arthritis (RA). Oleh karena itu disebut sebagai "disease-modifying". Beberapa obat yang dikenal sebagai DMARD pada pengobatan RA, yaitu :3, 4
  1. Methotrexate merupakan DMARD yang paling sering digunakan, karena menampakan kerja yang baik dan lebih baik dibandingkan obat lainnya, relative ekonomis dan umumnya aman. Efek samping yang muncul bisa kemerahan dan ketidaknyamanan pada perut, toxic pada liver dan tulang, dan dapat  menyebabkan cacat lahir. Pada kasus yang jarang, dapat menyebabkan sesak nafas, pemberian asam folat membantu mengurangi efek samping. Keuntungan terbaik methotrexate yaitu telah terbukti aman untuk digunakan dalam jangka waktu lama dan bahkan dapat digunakan pada anak-anak.
  2. Hydroxychloroquine merupakan obat yang dikenal sebagai obat malaria, digunakan juga sebagai second line antireumatik karena memiliki efek menghambat aktivitas rheumatoid arthritis, namun kurang efektif dibandingkan emas dan penicillamine Efek samping yang utama adalah kerusakan pada retina. 
  3. Sulfasalazine digunakan pada RA dan ankylosing spondilitis dan inflammatory bowel disease, dapat dikombinasikan dengan DMARD lainnya jika pasien kurang berrespon secara adequate.
  4. Leflunomide bekerja sama baiknya dengan methotrexate dan dapat bekerja lebih baik dalam kombinasi dengan methotrexate. Diketahui menyebabkan gangguan janin, diperlukan pencegahan khusus untuk mencegah kehamilan.
  5. Minocycline merupakan antibiotik yang tidak sering diresepkan. Tetapi dapat membantu pasien RA dengan meniadakan inflamasi. Memerlukan waktu beberapa bulan untuk obatnya bekerja dan tahunan untuk mendapatkan efek yang full. Dalam penggunaan dalam jangka waktu yang lama, minocycline dapat menyebabkan perubahan warna kulit.
Referensi :
  1. Nainggolan O, Prevalensi dan determinan penyakit reumatik di Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009;59(12):588-94.
  2. Combe B, Landewe R, Daien C I, Hua C, Aletaha D, Alvaro-Garcia J M, et al. 2016 update of EULAR recommendations for the management of early arthritis. Ann Rheum Dis. [citied 2017 Jan 16]. Available from : http://ard.bmj.com/content/early/2016/12/15/annrheumdis-2016-210602.full.
  3. Zelman D. Treating rheumatoid arthritis with disease-modifying drugs (DMARDs). WebMD Medical Reference. 2016 [citied 2017 Jan 17]. Available from: http:// http://webmd.com/rheumatoid-arthritis/guide/dmard-rheumatoid-arthritis-treatment#1.
  4. Pavelka Jr K, Pavelka Sen K, Peliskova Z, Vacha J, Trnavsky K. Hydroxychloroquine sulphate in the treatment of rheumatoid arthritis: a double blind comparison of two dose regimens. Annals of the rheumatic disease. 1989;48:542-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar