Senin, 25 Maret 2019

Peran Chitosan Dalam Menurunkan Berat Badan

Kelebihan berat badan dan obesitas menjadi masalah kondisi gizi pada saat ini, sehubungan dengan makanan junk food yang mudah didapat. Ternyata menurut analisa terakhir yang dipublikasi di tanggal 28 Februari 2017 dijurnal British Medical Journal, pada individu kelebihan berat badan dan obesitas terjadi penumpukan kelebihan lemak tubuh sehingga terbukti dapat meningkatkan beberapa risiko kangker yaitu oesophageal adenocarcinoma, multiple myeloma, dan cancer dari bagian lambung yaitu cardia lambung , kolon, rektum, saluran empedu/kantung empedu, pankreas, payudara, endometrium, ovarium, dan ginjal.1

Chitosan dikenal dengan deacetylated chitin, merupakan derivatif alami dari polycationic linear polysaccharide dari deasetilasi sebagian dari chitin. Chitin merupakan elemen dalam struktur eksoskeleton serangga, krustasea (udang-udangan dan kepiting) ,dan dinding sel dari jamur, dan polysaccharide alami kedua yang sangat berlimpah setelah selulosa. Karakterisitik yang menarik dari chitosan seperti biokompatibilitas, tidak toksik, rendah alergi, dan biodegradasi memungkinkan digunakan dalam berbagai aplikasi.2

Chitosan dipasarkan sebagai supplemen makanan atau nutraceutical untuk menurunkan serum kolesterol dan mengontrol obesitas. Chitosan tidak secara khusus dicerna dalam saluran pencernaan. Chitosan akan mengembang dengan mengisi saluran pencernaan, sehingga memberikan rasa kenyang. Dengan tidak dicernanya chitosan maka aktivitas lipase pankreas tidak berfungsi/berkurang, sehingga lemak dapat diendapkan dan mengurangi penyerapan lemak dari makanan di usus. Sifat kationik dari chitosan mengikat grup karboksil yang memiliki sifat anionik dari asam lemak dan asam empedu, hal ini juga menganggu emulsifikasi lipid seperti kolesterol, dan sterol lain dengan mengikat mereka oleh interaksi hidrofobik, oleh karena hal ini penyerapan lemak dan kolesterol di saluran cerna berkurang.2

Sebuah penelitian dengan design acak, tersamar ganda, plasebo kontrol, sebanyak 150 pasien kelebihan berat badan dibagi menjadi 3 grup yaitu grup yang menggunakan chitosan, grup yang menggunakan plasebo, dan grup kontrol. Pada grup chitosan diberikan chitosan sebanyak 500 mg / hari dan kedua grup yaitu chitosan dan plasebo menggunakan pedometer selama waktu berjalan dan direkam. Grup kontrol mengikuti program penurunan berat badan yang dipilih. Yang dinilai adalah dual energy X-ray absorptiometry test, kimia darah puasa dan laporan pribadi mengenai tingkat aktivitas dan masukan kalori. Hasilnya dibandingkan pada grup kontrol, grup chitosan lebih banyak kehilangan berat badan (p<0,001) dan masa lemak (p=0,006). Dibandingkan dengan grup plasebo, grup chitosan lebih banyak kehilangan berat badan (p=0,03), persentase lemak (p=0,003), masa lemak (p=0,001) dan memiliki peningkatan komposisi tubuh yang lebih baik (BCI) (p=0,002). Kesimpulan dari data penelitian ini memperlihatkan bukti efektifitas komponen chitosan untuk menfasilitasi penipisan kelebihan lemak tubuh dalam kondisi pola hidup biasa dengan mengurangi lemak atau masa tubuh.3

Sebuah analisa chocrane review dari berbagai penelitian yang dipublikasi dengan total subjek 1.219 pada tahun 2008, menunjukkan chitosan secara signifikan menurunkan berat badan (perbedaan rata-rata berat badan -1.7 kg; 95% confidence interval (CI) -2.1 hingga -1.3 kg, P<0,00001), menurunkan kolesterol total (0,2 mmol/L [95% CI -0.3 hingga -0.1], P<0,00001), dan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik dibandingkan dengan plasebo. Kesimpulan analisa review ini chitosan efektif dibandingkan plasebo dalam pengobatan jangka pendek untuk kelebihan berat badan dan obesitas.4

Namun, kesuksesan dan lama waktu terapi untuk mencapai target berat badan diperlukan pola makan dan pola hidup yang baik. Mengkonsumsi supplemen untuk penurunan berat badan tidak ada artinya bila tidak dibarengi dengan pola hidup yang baik (olahraga) dan asupan yang dikurangi. 

Referensi :
  1. Kyrgiou M, Kalliala I, Markozannes G, Gunter Marc J, Paraskevaidis E, Gabra H et al. Adiposity and cancer at major anatomical sites: umbrella review of the literature.  BMJ 2017; 356 :j477.
  2.  Chi Fai Cheung R, Bun Ng T, Wong J H, Chan W Y. Review chitosan: an update on potential biomedical and pharmaceutical applications. Mar. Drugs 2015;13:5156-86.
  3. Kaats G R, Michalek J E, Preuss H G. Evaluating efficacy of a chitosan product using a double-blinded, placebo-controlled protocol. Journal of the American College of Nutrition. 2006;25(5):389–94.
  4. Jull AB, Ni Mhurchu C, Bennett DA, Dunshea-Mooij CAE, Rodgers A. Chitosan for overweight or obesity (review). Cochrane database of systematic reviews. 2008, Issue 3. Art. No.: CD003892. DOI: 10.1002/14651858.CD003892.pub3. Available from : https://www.researchgate.net/publication/51419945_Chitosan_for_overweight_or_obesity.

Arthritis dan Pengobatannya


Arthritis atau biasa disebut reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya. Masyarakat pada umumnya menganggap reumatik adalah penyakit sepele karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, jika tidak segera ditangani reumatik bisa membuat anggota tubuh menjadi tidak berfungsi dengan normal, mulai dari tonjolan-tonjolan pada sendi, sendi kaku, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. Rasa sakit yang timbul bisa sangat mengganggu dan membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari.1

Menurut data tahun 2009, angka prevalensi reumatik nasional adalah sebesar 32,2%, prevalensi reumatik tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Jawa Barat yaitu 41,7% diikuti oleh Provinsi Papua Barat sebanyak 38,2% dan Nusa Tenggara Timur 38%. Prevalensi reumatik terendah terdapat di provinsi Sumatera Utara sebanyak 20,2% dan Kepulauan Riau sebanyak 17,6%. Terdapat sembilan provinsi, yaitu NAD, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Kalimatan Selatan dan Papua Barat, dengan angka prevalensi reumatik di atas angka Nasional. Sedangkan yang berada dibawah angka prevalensi nasional ada 24 provinsi.1

Reumatik merupakan salah satu penyebab nyeri sendi, khususnya sendi-sendi kecil didaerah pergelangan tangan dan jari-jari. Keluhan kaku, nyeri dan bengkak akibat penyakit reumatik dapat berlangsung terus menerus dan semakin lama semakin berat, tetapi ada kalanya hanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan pengobatan. Namun demikian, kebanyakan penyakit reumatik berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Keluhan kaku dan nyeri sendi pada penyakit reumatik adakalanya disertai oleh perasaan mudah lelah
.1

Pada 13 Desember 2016 EULAR mengeluarkan rekomendasi untuk penatalaksanaan awal pada arthritis, berikut ini adalah rekomendasi EULAR 2016 untuk penatalaksanaan awal pada arthritis :2
  1. Pasien yang memperlihatkan gejala arthritis (pembengkakan pada sendi-sendi, dengan sakit atau kekakuan) harus dipastikan, dan dilihat oleh rheumatologist, selama 6 minggu dari awal setelah munculnya gejala.
  2. Pemeriksaan klinis merupakan pilihan metode dalam mendeteksi arthritis, yang dapat dikonfirmasi menggunakan ultrasonography.
  3. Jika diagnosa pasti belum dapat ditegakan dan pasien dengan diagnose awal arthritis undifferentiated sebaiknya dipertimbangkan dalam keputusan pengobatan bila terdapat, faktor risiko untuk menjadi penyakit presisten dan/atau erosive, termasuk jumlah sendi yang bengkak, fase reaksi akut, faktor reumatik, ACPA (Anticitrullinated peptide antibodies) dan penemuan imaging.
  4. Pasien yang memiliki resiko presisten arthritis sebaiknya dimulai dengan pengobatan DMARD (Disease-modifiying antirheumatic drugs) secepatnya (idealnya dalam 3 bulan), meskipun jika belum memenuhi kriteria klasifikasi penyakit reumatik.
  5. Diantara DMARD, methotrexate dianggap menjadi obat utama, kecuali kontraindikasi, sebaiknya menjadi bagian strategi pengobatan pertama pada pasien yang memiliki risiko penyakit presisten.
  6. NSAID (Non Steroid Anti Inflamastory Drugs) efektif dalam pengobatan gejala tetapi sebaiknya digunakan pada minimum dosis efektif dengan waktu yang pendek, setelah dilakukan  evaluasi risiko gastrointestinal, ginjal dan kardiovaskuler.
  7. Glukokotrikoid sistemik mengurangi nyeri, pembengkakan dan perubahan struktur yang progressive, tetapi dengan efek samping yang banyak, sebaiknya digunakan pada dosis terendah sementara (<6 bulan) sebagai pengobatan tambahan. Injeksi intra artikular glukokortikoid sebaiknya dipertimbangkan untuk mengurangi inflamasi lokal yang terjadi.
  8. Goal utama dari pengobatan DMARD adalah tercapainya remisi klinis, dan monitoring aktivitas reguler penyakit, efek samping dan komorbitas sebaiknya menjadi pertimbangan dalam panduan keputusan dan merubah strategi pengobatan untuk mencapai target.
  9. Monitoring aktifitas penyakit sebaiknya memperhitungkan sendi yang rusak dan bengkak, penilaian secara umum pasien dan dokter, ESR (Erythrocyte sedimentation rate) dan CRP (C reactive protein), biasanya dengan menerapkan pengukuran gabungan. Aktivitas arthritis sebaiknya dinilai dalam interval 1-3 bulan sampai target pengobatan diraih. Hasil radiologi dan masukan pasien dinilai, seperti penilaian fungsi, dapat digunakan untuk pemantauan tambahan pengelolaan penyakit.
  10. Intervensi non-farmakologi, seperti latihan yang dinamis dan terapi okupasional, sebaiknya dipertimbangkan sebagai tambahan dalam pengobatan pada pasien dengan awal arthritis.
  11. Merokok dihentikan, perawatan gigi, kontrol berat badan, penilaian status vaksin dan pengelolaan kormobid sebaiknya menjadi bagian perawatan pasien keseluruhan pada pasein dengan awal arthritis. 
  12. Informasi pasien mengenai penyakit, hasil (termasuk kormobid) dan pengobatan adalah penting. Program edukasi yang bertujuan untuk mengatasi rasa sakit, disabilitas, kemampuan pemeliharaan untuk bekerja dan partisipasi sosial dapat digunakan sebagai intervensi tambahan.
Pada rekomendasi diatas disebutkan bahwa golongan DMARD merupakan pilihan utama dalam kasus awal arthritis. DMARD memiliki kepanjangan adalah Disease-Modifying Antirheumatic Drugs. Disease-modifying drugs bertindak pada sistem imun dalam memperlambat progres dari rheumatoid arthritis (RA). Oleh karena itu disebut sebagai "disease-modifying". Beberapa obat yang dikenal sebagai DMARD pada pengobatan RA, yaitu :3, 4
  1. Methotrexate merupakan DMARD yang paling sering digunakan, karena menampakan kerja yang baik dan lebih baik dibandingkan obat lainnya, relative ekonomis dan umumnya aman. Efek samping yang muncul bisa kemerahan dan ketidaknyamanan pada perut, toxic pada liver dan tulang, dan dapat  menyebabkan cacat lahir. Pada kasus yang jarang, dapat menyebabkan sesak nafas, pemberian asam folat membantu mengurangi efek samping. Keuntungan terbaik methotrexate yaitu telah terbukti aman untuk digunakan dalam jangka waktu lama dan bahkan dapat digunakan pada anak-anak.
  2. Hydroxychloroquine merupakan obat yang dikenal sebagai obat malaria, digunakan juga sebagai second line antireumatik karena memiliki efek menghambat aktivitas rheumatoid arthritis, namun kurang efektif dibandingkan emas dan penicillamine Efek samping yang utama adalah kerusakan pada retina. 
  3. Sulfasalazine digunakan pada RA dan ankylosing spondilitis dan inflammatory bowel disease, dapat dikombinasikan dengan DMARD lainnya jika pasien kurang berrespon secara adequate.
  4. Leflunomide bekerja sama baiknya dengan methotrexate dan dapat bekerja lebih baik dalam kombinasi dengan methotrexate. Diketahui menyebabkan gangguan janin, diperlukan pencegahan khusus untuk mencegah kehamilan.
  5. Minocycline merupakan antibiotik yang tidak sering diresepkan. Tetapi dapat membantu pasien RA dengan meniadakan inflamasi. Memerlukan waktu beberapa bulan untuk obatnya bekerja dan tahunan untuk mendapatkan efek yang full. Dalam penggunaan dalam jangka waktu yang lama, minocycline dapat menyebabkan perubahan warna kulit.
Referensi :
  1. Nainggolan O, Prevalensi dan determinan penyakit reumatik di Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009;59(12):588-94.
  2. Combe B, Landewe R, Daien C I, Hua C, Aletaha D, Alvaro-Garcia J M, et al. 2016 update of EULAR recommendations for the management of early arthritis. Ann Rheum Dis. [citied 2017 Jan 16]. Available from : http://ard.bmj.com/content/early/2016/12/15/annrheumdis-2016-210602.full.
  3. Zelman D. Treating rheumatoid arthritis with disease-modifying drugs (DMARDs). WebMD Medical Reference. 2016 [citied 2017 Jan 17]. Available from: http:// http://webmd.com/rheumatoid-arthritis/guide/dmard-rheumatoid-arthritis-treatment#1.
  4. Pavelka Jr K, Pavelka Sen K, Peliskova Z, Vacha J, Trnavsky K. Hydroxychloroquine sulphate in the treatment of rheumatoid arthritis: a double blind comparison of two dose regimens. Annals of the rheumatic disease. 1989;48:542-6.

Jumat, 22 Maret 2019

Penanganan nyeri punggung (Low Back Pain)


Nyeri punggung bagian bawah atau Low back pain (LBP) merupakan kasus yang sering ditemui dan menjadi penyebab pasien berkunjung ke dokter, karena nyeri sangat menggangu aktivitas dan berkurangnya produktifitas.

Nyeri LBP dibagi menjadi 3 bentuk yaitu akut, subakut dan kronis.  Akut umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu dan biasanya sembuh sendiri, Subakut umumnya berlangsung 4 minggu – 12 minggu , sementara nyeri punggung kronis berlangsung lebih dari 12 minggu.

American College of Physician mengupdate penatalaksanaan LBP yang dipublish tanggal 14 Februari 2017 dengan mengeluarkan 3 rekomendasi sbb :
  1. Mengingat bahwa kebanyakan pasien dengan LBP akut dan subakut tanpa diberikan  pengobatan, meningkat progresifitasnya seiring  waktu, dokter dan pasien harus memilih pengobatan nonfarmakologi dengan memberikan kehangatan superfisial (moderate-quality evidence), massage, akupuntur, atau memanipulasi tulang belakang (low-quality evidence). Jika pengobatan farmakologi diinginkan, dokter dan pasien harus memilih NSAID atau muscle relaxants (moderate-quality evidence). (Grade: Strong recommendation).
  2. Untuk pasien dengan LPB yang kronis, dokter dan pasien harus memilih pengobatan awal nonfarmakologi dengan olaharaga, rehabilitasi multidisiplin, akupuntur, mengurangi stress (moderate-quality evidence), tai chi, yoga, latihan motorik yang terkontrol, relaksasi progesif, electromyography biofeedback, terapi laser dengan tingkat yang rendah, operant therapy, terapi prilaku kognitif, atau manipulasi tulang belakang (low-quality evidence). (grade: Strong recommendation).
  3. Pada pasien dengan LBP kronis yang telah menghasilkan respon dari pengobatan nonfarmakologi, dokter dan pasien harus mempertimbangkan pengobatan menggunakan NSAID sebagai first-line therapy, atau tramadol atau duloxetine sebagai second-line therapy. Dokter juga harus mempertimbangkan gol. Opioid sebagai pilihan pada pasien yang gagal dalam pengobatan sebelumnya dan hanya jika potensi manfaat lebih besar daripada risiko untuk pasien (Grade: weak recommendation, moderate-quality evidence).
Pada guideline ini tidak membahas posisi dan penggunaan obat topikal, suntikan epidural dan NSAID selektif Cox-2.


Referensi :
1.  Qaseem A, Wilt T J, McLean R M, Forciea M A. Noninvasive treatment for acute, subacute, and chronic low back pain: A clinical practice guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2017. Available from : http://annals.org/aim/article/2603228/noninvasive-treatments-acute-subacute-chronic-low-back-pain-clinical-practice.


Rabu, 06 Maret 2019

Benefit Soy Isoflavone Untuk Kesehatan

Menopause digambarkan sebagai penurunan kadar hormon estrogen, dimana menimbulkan gejala yang tidak nyaman seperti hot flushes, rasa suhu tubuh yang meningkat dimalam hari, gangguan tidur dan atrofi vagina. Kondisi seperti ini umumnya akan diterapi menggunakan hormon sintetik untuk mengurangi gejala dari menopause namun memiliki potensi yang tinggi terjadinya efek samping lainnya . Isoflavon berasal dari kacang kedelai/soy yang  merupakan phytoestrogen terbanyak selain lignans yang berasal dari flaxseed (phytoestrogen adalah tanaman yang mengandung zat seperti estrogen).1


Sebuah clinical trial yang membandingkan omega-3 vs isoflavon dalam mengontrol gejala vasomotor pada pasien menopause yang publish Mei 2017, design penelitian adalah randomized, prospective, two-arm dengan subjek wanita sehat dengan menopause usia 45-65 tahun. Kelompok pertama diberikan omega-3 kapsul sehari 2 kali (425 mg omega-3/kapsul) diberikan peroral (n=38) dan kelompok kedua diberikan soybean isoflavone sehari 2 tablet (54.4 mg isoflavon/tablet) diberikan peroral (n=30) keseluruhan subjek diberikan selama lebih dari 16 minggu. Hasil setelah 4 bulan penurunan gejala hot flushes sedang dan berat pada kelompok omega-3 sangat signifikan (p<0.001), sedangkan pada kelompok isoflavon, ada perbedaan yang signifikan penurunan pada gejala hot fluses yang berat (p=0.02) setelah 4 bulan. Efektifitas omega-3 dan isoflavon tidak menunjukkan perbedaan efektivitas yang signifikan dari waktu ke waktu. Penggunaan omega-3 lebih menguntungkan menurunkan gejala hot flushes setelah pengobatan selama 4 bulan.  Hal ini juga tampak pada soybean isoflavone setelah 3-4 minggu dan setelah 4 bulan pada gejala hot flushes yang berat.2

Penelitian soy isoflavon tidak meningkatkan kadar estradiol pada sirkulasi darah sehingga tidak berpotensi meningkatkan risiko cancer pada payudara, endometrium dan ovarium, penelitian lain juga menyebutkan penggunaan phytoestrogen tidak merubah ketebalan endometrium dan berefek negatif terhadap endometrium.1Sebuah penelitian lain meneliti efek isoflavon terhadap efek metabolik pada pasien dengan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), design penelitian dengan randomized, double-blind, placebo-controlled sebanyak 70 wanita yang didiagnosa PCOS dengan usia 18-40 tahun. Dibagi menjadi 2 group yang menerima 50 mg/hari isoflavon (n=35) atau plasebo (n=35) selama 12 minggu. Dilakukan penilaian terhadap metabolisme, endokrin, inflamasi, dan oksidatif stress diawal penelitian dan setelah 12 minggu intervensi. Hasilnya setelah 12 minggu intervensi soy isoflavone secara signifikan menurunkan sirkulasi kadar insulin (p<0.001) dan model homeostasis untuk penilaian estimasi resistensi insulin (p=0.01). Pemberian soy isoflavone juga menurunkan secara signifikan free androgen index (p<0.001) dan serum trigiserida (p=0.04) dibandingkan kelompok plasebo. Peningkatkan secara signifikan total gluthation plasma (p=0.04) dan menurunkan secara signifikan kadar malondialdehyde (p=0.001). Kesimpulannya pemberian soy isoflavone selama 12 minggu pada wanita dengan PCOS secara signifikan meningkatkan nilai insulin resistensi, status hormonal, trigliserida dan penandaan oksidative stress.3
Referensi :1. Saghafi N, Ghanzanfarpour M, Sadeghi R, Najarkolaei A H, Omid M G, Azad A, et al. Effects of phytoestrogens in alleviating the menopausal symptoms : a systematic review and meta-analysis. IJPR. 2017; 16 (Special Issue): 99-111.2. Palacios S, Lilue M, Mejia A, Menendez C. Omega-3 versus isoflavones in the control of vasomotor symptoms in potmenopausal woman. Gynecological Endocrinology. 2017:1-7.3. Mehri J, Zatollah A. The effects of soy isoflavones on metabolic status of patients with polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab 2016; 101 (9): 3386-94. 

Hormon Melatonin dan efektivitasnya

Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak diantara kedua sisi otak. Hormon ini mempunyai fungsi yang sangat khas karena produksinya dipicu oleh gelap dan hening  tetapi dapat dihambat oleh sinar yang terang.   Berdasarkan teori yang ada, hormon melatonin ini meningkat pada saat seseorang tertidur, terutama pada saat suasana sekitarnya gelap, sesuai dengan sebutan hormon ini “hormone of the darkness”. Adanya hormon ini dikatakan dapat membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari beberapa penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan melatonin untuk insomnia ternyata signifikan dalam menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk seseorang jatuh tertidur, memperpanjang durasi tidur termasuk kualitas tidurnya. Secara umum dosis yang direkomendasikan adalah 3 mg dan dapat ditingkatkan hingga 12-15 mg.1


Sebuah ilustrasi bagaimana melatonin diproduksi secara fisiologis dan mengikuti ritme sirkadian siang dan malam, serta aktif bila tidak ada sinar. Informasi cahaya diterima oleh retina yang memberi informasi melalui jalur retino-hypothalamic dan ditransmisikan melalui suprachiasmatic nucleus (SCN) dimana waktu sirkardian diatur, sehingga tubuh dapat mensinkronisasikan siklus ritme sirkardian dengan siklus terang dan gelap (lebih dari 24 jam). Informasi yang diterima oleh SCN dilanjutkan kepada superior cervical ganglion dan ditransmisikan kepada pineal gland. Noradrenaline dihasilkan oleh superior cervical ganglion akan menstimulasi pineal gland, terutama via β-reseptor, dengan demikian mempercepat sintensis cAMP, jalur kedua mengaktivasi arylalkylamine N-acetyltransferase activity (AANAT), enzim jarang yang terbatas dari sintesis melatonin. Kadar melatonin pada pineal gland dan darah memperlihatkan variasi sirkardian, meningkat pada malam hari dan berkurang pada siang hari. Pada manusia sekresi melatonin tertinggi pada usia 1-3 tahun, dan mulai berkurang usia pubertas dan berkurang sekali hingga 1/10 dari kadar normal rata-rata pada usia diatas 70 tahun.2

Kita akan bahas beberapa literature meta analisis yang menunjukan seberapa efektif kah melatonin dalam memberikan efek terhadap keseluruhan proses tidur.Sebuah meta analisis yang dipublikasikan tahun 2013 bulan Mei, dengan design randomized, placebo-controlled pada data PubMed yang melibatkan 1.683 subjek yang terdiri dari dewasa dan anak-anak yang didiagnosa dengan primary sleep disorders. Penilaian adalah perbaikan pada sleep latency, kualitas tidur dan total waktu tidur. Meta regresi dilakukan untuk menguji pengaruh dosis dan durasi melatonin yang dilaporkan sehubungan dengan efektivitas. Hasilnya memperlihatkan efektivitas yang signifikan dalam menurunkan sleep latency (weighted mean difference (WMD) = 7.06 menit [95% Cl 4.37 – 9.75], Z = 5.15, p<0.001) dan meningkatkan total waktu tidur (WMD = 8.25 menit [95% Cl 1.74 – 14.75], Z = 2.48, p = 0.013). Percobaan dengan durasi yang lebih panjang dan menggunakan dosis yang lebih tinggi menunjukkan efek yang lebih besar pada menurunkan sleep latency dan meningkatkan total waktu tidur. Secara keseluruhan kualitas tidur meningkat secara signifikan pada subjek yang menggunakan melatonin (standardized mean difference = 0.22 [95% Cl: 0.12 – 0.32], Z = 4.52, p <0.001) dibandingkan dengan plasebo. Kesimpulan dari meta analisis ini memperlihatkan melatonin dapat menurunkan sleep onset latency, meningkatkan total waktu tidur dan meningkatkan seluruh kualitas tidur. Meskipun manfaat absolute melatonin dibandingkan plasebo lebih kecil dibandingkan pengobatan farmakologi lainnya untuk insomnia, melatonin memiliki peran dalam pengobatan insomnia karena profil efek sampingnya yang relatif aman dibandingkan pengobatan farmakologi lainnya.3

Sebuah mata analisis lain yang dipublikasi februari 2006, dengan data yang diambil dari 13 elektronik database dan list referensi dari review yang relevan dan penelitian yang termasuk didalamnya dari abstrak Associated Professional Sleep Society (dari tahun 1999 – 2003). Penelitian yang dipilih adalah review efektivitas termasuk randomized controlled trials dan review keamanan termasuk randomized dan non-randomised controlled trials. Didapatkan 6 randomised controlled trial dengan 97 partisipan memperlihatkan tidak ada bukti bahwa melatonin memiliki efek terhadap sleep onset latency pada orang dengan gangguan secondary sleep disorders (weighted medan difference – 13.2 (95% confidence interval -27.3 – 0.9)min). Sebanyak 9 randomized controlled trials dengan 427 partisipan memperlihatkan tidak adanya bukti bahwa melatonin memiliki efek pada sleep onset latency pada orang yang memiliki gangguan tidur yang disertai gangguan penyertanya  (-0.1 (-2.3 – 0.3)min). sebanyak 17 randomised controlled trials dengan 651 partisipan memperlihatkan tidak adanya bukti efek samping selama penggunaan melatonin dengan waktu penggunaan jangka pendek (3 bulan atau kurang). Kesimpulan dari literature ini menyebutkan tidak ada bukti melatonin efektif dalam mengobat secondary sleep disorders atau gangguan tidur yang yang disertai gangguan penyertanya, seperti jet leg dan gangguan yang diakibatkan shift kerja. Terbukti bahwa melatonin aman digunakan dalam jangka pendek.4

Sebuah meta analisis yang menilai efektifitas dan kemanan pemberian melatonin dari luar dalam memanfaatkan siklus tidur dan bangun pada pasien dengan delayed sleep phase disorders. Data meta analisis diambil dari paper dengan design randomized controlled trials termasuk orang dengan delayed sleep phase disorders yang dipublikasi di Inggris, membandingkan melatonin dengan plasebo, danmelaporkan hasil dengan 1 atau lebih yang mengikuti: endogenus onset dari melatonin, waktu onset tidur, waktu bangun tidur, sleep onset latency, dan total waktu tidur yang terdapat dalam PubMed, Embase, dan abstrak dari sleep and chronobiologic societies (1990-2009). Sebanyak 5 penelitian termasuk 91 dewasa dan 4 penelitian termasuk 226 anak-anak memperlihatkan pengobatan dengan melatonin meningkatkan rata-rata onset endogenus melatonin sebesar 1.18 jam (95% confidence interval [Cl]:0.89-1.48 jam) dan waktu onset tidur  0.67 jam (95% Cl: 0.45 – 0.89 jam). Melatonin mengurangi sleep onset latency 23.37 menit (95% Cl: 4.83 – 41.72 min). Waktu  bangun tidur dan total waktu tidur tidak berubah secara signifikan. Kesimpulannya melatonin efektif dalam memperpanjang ritme siklus tidur dan bangun dan ritme endogenus melatonin dalam delayed sleep phase disorder.5

Ada dua jenis gangguan tidur yaitu primary dan secondary sleep disorders yang membedakan dari keduanya adalah etiologinya, primary sleep disorder gangguan tidur yang tidak terkait dengan kondisi medis atau kejiwaan tertentu, sedangkan secondary sleep disorder gangguan tidur yang disebabkan karena penyakit atau kondisi kejiwaan tertentu yang mendasarinya.
Beberapa penelitian lainnya dengan untuk treatment pada pasien-pasien gangguan tidur lainnya dan penyakit lainnya karena diduga melatonin dapat berkontribusi positif pada kesehatan dan perkembangan penyakit tertentu. Melatonin juga dianggap berkhasiat sebagai antioksidan, berperan positif dalam glukosa dan metabolisme lipid, metabolisme tulang, fungsi reproduksi, cancer dan Alzheimer disease.2

Dari bahasan diatas bahwa eksogenus melatonin mungkin berguna dalam membantu kualitas tidur orang yang mengidap primary sleep disorder karena menurut meta analisis memperlihatkan tidak signifikan dalam membantu pasien dengan secondary sleep disorder. Potensi dalam memperbaiki  kualitas tidur tidak terlalu signifikan dibandingkan obat-obat yang biasa digunakan untuk mengobati gangguan tidur seperti minor tranqulizers, namun melatonin aman diminum dalam jangka waktu 3 bulan dan memiliki benefit lain bagi kesehatan.  

Referensi :
1.  Sholehah L R. Management of insomnia. E-Jurnal Medika Udayana, [S.l.], p. 933-954, apr. 2013. ISSN 2303-1395. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/5352>. Date accessed: 16 june 2017.
2.  Yonei Y, Hattori A, Tsutsu K, Okawa M, Ishizuka B. Review article Effect of melatonin: Basic studies and clinical application. Anti-Aging Medicine.2010; 7 (7) : 85-91.
3.  Ferracioli-Oda E, Qawasmi A, Bloch M H. Meta-analysis: Melatonin for the treatment of primary sleep disorders. Plos One. 2013;8(5):1-6.[available from: http://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0063773&type=printable].
4.  Buscemi N, Vandermeer B, Hooton N, Pandya R, Tjosvold L, Hartling L, et al. Efficacy and safety of exogenous melatonin for secondary sleep disorders and sleep disorders accompanying sleep restriction : meta-analysis. [Cite this article as: BMJ, doi:10.1136/bmj.38731.532766.F6 (published 10 February 2006)]. [available from : http://www.bmj.com/content/bmj/332/7538/385.full.pdf].

Mengenal Supementasi Vitamin D

Defisiensi vitamin D dapat terjadi pada segala umur, hal ini sering terjadi pada orang-orang yang hidup dalam 4 musim atau daerah dengan waktu matahari bersinar hanya sebentar. Pada orang-orang yang hidup dalam kondisi demikan memerlukan suplemen pengganti vitamin D yang berasal dari luar, karena kita ketahui bahwa vitamin D dibentuk sendiri oleh tubuh kita dari sinar matahari selain yang didapat dari makanan, hal ini yang menyebabkan sering terjadinya penyakit-penyakit osteomalacia dan riketsia. Untuk di Indonesia kasus-kasus ini dapat dikatakan sangat jarang karena sinar matahari selalu bersinar dan ada sepanjang siang hari.

Perlu diingat bahwa Vitamin D sangat berperan penting dalam pembentukan mineralisasi tulang bersama dengan kalsium dan fosfor. Sehingga selain diberikannya suplemen dalam bentuk kalsium perlu diingatkan bahwa pentingnya berjemur dan asupan vitamin D untuk pembentukan mineralisasi pada tulang. 

Siapa saja yang memiliki risiko mengalami defisiensi vitamin D, sebuah artikel membahasnya secara lengkap, akan saya bagi menjadi 2 bagian yang kebutuhannya ringan dan kebutuhan yang tinggi,  yaitu :1,2

Kebutuhan yang ringan (mengingat wilayah Indonesia disinari matahari sepanjang siang hari)
  • Anak-anak seluruh usia
  • Wanita hamil dan ibu menyusui
  • Orang yang obesitas
  • Orang dengan osteoporosis, osteomalacia atau orang tua
Kebutuhan yang tinggi (mengingat terjadinya defisiensi vitamin D karena metabolisme yang terganggu di dalam tubuhnya) :

  • Orang dengan dengan sindroma malabsorbsi (cystic fibrosis, crohn’s disease atau inflammatory bowel disease) 
  • Orang yang melakukan bariatric surgery 
  • Orang dengan gagal ginjal kronis 
  • Orang dengan gagal organ hati 
  • Orang dengan gangguan connective tissue disease (Syndrome Lupus Erithematosus, Idiopathic inflammatory myopathy, Sjorgen syndrome)

Pada pasien yang memiliki gangguan malabsorpsi sudah jelas akan terjadi gangguan penyerapan vitamin D dari makanan namun untuk di Indonesia masih terbantu dengan adanya sinar matahari sepanjang siang hari, pada pasien yang melakukan bariatric surgery yaitu operasi pengangkatan lemak bawah kulit yang berlebihan dengan tujuan menguruskan badan dalam hal ini dapat terjadi defisiensi vitamin D dikarenakan vitamin D secara fisiologis disimpan dalam sel lemak.


Gangguan organ hati dan ginjal juga dapat menimbulkan defisiensi vitamin D dikarenakan vitamin D dimetabolisme menjadi aktif di hati dan ginjal, sehingga akan terjadi gangguan metabolisme vitamin D, kalsium dan fosfat dalam pembentukan mineralisasi tulang.

Yang akan kita bahas lebih dalam adalah pada gangguan connective tissue disease (CTD) (yaitu Syndrome Lupus Erithematosus, Idiopathic inflammatory myopathy, Sjorgen syndrome). Berdasarkan survei dan informasi dari beberapa dokter kebutuhan vitamin D pada pasien-pasien autoimmune khususnya SLE cukup tinggi, dikarenakan ditemukan kadar yang rendah pada penyakit-penyakit tersebut didalam darah dan diduga pemberian vitamin D dapat mengurangi perkembangan gejala dari SLE.Prevalensi defisiensi vitamin D pada penyakit Syndrome Lupus Erithematosus(SLE), beberapa penelitian membuktikan terjadinya defisiensi pada pasien-pasien ini. Sebuah penelitian membandingkan dengan subjek yang sehat sekitar 86% subjek SLE mengalami defisiensi vitamin D.2

Hubungan sebenarnya antara vitamin D dan inflamasi masih belum dapat ditentukan.  CTD adalah penyakit kronis yang menyebabkan mobilitas pasien menjadi sangat berkurang. Pada subjek sehat, pengurangan aktivitas fisik dan berkurangnya paparan sinar matahari berperan penting dalam terjadinya defisiensi vitamin D. Hal ini sangat relevan dimana pasien SLE sangat fotosensitif dan direkomendasikan menghindari paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya (sunblock) yang terus menerus.2

Penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antara defisiensi vitamin D dan penyakit autoimun adalah bahwa 25(OH)D dapat bertindak sebagai fase akut reaktan yang bersifat negatif. Dalam sebuah meta analisis, rendahnya serum 25(OH)D dilaporkan mengikuti kejadian akut (termasuk operasi ortopedi dan pancreatitis akut) pada 6/8 penelitian, sering dikaitkan dengan penurunan serum albumin dan peningkatan CRP. Hal ini diperkirakan karena berkurangnya kadar protein yang mengikat vitamin D.2

Oleh karena penjelasan diatas, masuk diakal bahwa defisiensi vitamin D dapat mendorong perkembangan penyakit autoimun dan meningkatkan respon inflamasi. Sebuah penelitian mengidentifikasi rendahnya serum 23(OH)D pada pasien SLE dibandingkan dengan subjek sehat dan diperkirakan defisiensi vitamin D menjadi faktor risiko perkembangan dari SLE. Selanjutnya, perbedaan kadar vitamin D hanya signifikan secara statistika untuk pasien kaukasia (62% pada penelitian cohort). Dalam kaitannya dengan perkembangan autoimunitas, sebuah penelitian kecil cross-sectional dari European American menemukan peningkatan defisiensi vitamin D secara bermakna pada pasien antinuclear antibody (ANA) positif dibandingkan subjek sehat dengan ANA negatif.2

Defisiensi vitamin D didefinisikan berdasarkan US endocrine society guideline, dikatakan defisiensi bila 25(OH)D dalam darah kurang dari 20 ng/mL (50 nmol/L), dikatakan kurang bila 21-29 ng/mL (525-725 nmol/L) dan dikatakan cukup antara 30-100 ng/mL.3

Kebutuhan vitamin D berdasarkan nilai acuan label gizi pangan olahan yang dikeluarkan oleh BPOM RI yaitu 0-11 bulan adalah 5 mcg (5000 ng atau 200 IU) dan untuk usia 1 tahun, umum (dewasa), ibu hamil dan menyusui adalah 15 mcg (5000 ng atau 600 IU).4

Berikut ini adalah bentuk-bentuk produk metabolik atau versi modifikasi vitamin D :5
















Pilihan supplemen yang biasa digunakan adalah oral calciferol dalam bentuk ergocalciferol (Derivat vitamin D2 yang berasal dari ragi) atau colecalciferol (derivate vitamin D3 yang berasal dari ikan atau lanolin), bentuk colecalciferol ini yang paling disukai, karena secara kimiawi mirip dengan bentuk vitamin D yang diproduksi oleh tubuh dan lebih efektif dibandingkan D2 dalam meningkatkan konsentrasi vitamin D dalam darah.5

Begitu konsentrasi darah yang diinginkan tercapai, kebanyakan orang dapat mempertahankannya dengan 800-1000 IU vitamin D setiap harinya. Meskipun dosis sampai 10.000 IU setiap hari tidak menyebabkan toksisitas, umumnya tidak disarankan untuk mengkonsumsi lebih dari 2.000 IU setiap hari dalam bentuk suplemen tanpa saran dari dokter. Individu dengan risiko tinggi kekurangan vitamin D sebaiknya di tes dahulu, dosis hingga 3000 – 4000 IU mungkin diperlukan untuk mengembalikan konsentrasi vitamin D dalam darah.

Referensi :
1. DeNoon D J. New guidelines suggest higer doses of vitamin D. Available from : http://www.webmd.com/diet/news/20110606/new-guidelines-suggest-higher-doses-of-vitamin-d#1.
2. Reynolds J A, Bruce I N. Vitamin D treatment for connective tissue disease-hope beyond the hype. Rheumatology. 2017; 56(2):178-
3. Holick M F, Binkley N C, Bischoff-Ferrari H A, Gordon C M, Hanley D A, Heaney R P, et al. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D deficiency: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96 (7): 1911-30.
4. Peraturan BPOM RI tentang acuan label gizi. 2016.
5. Gonzales C. Vitamin D supplementation: an update. US Pharmacist. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/731722_2.