Senin, 25 Maret 2019

Peran Chitosan Dalam Menurunkan Berat Badan

Kelebihan berat badan dan obesitas menjadi masalah kondisi gizi pada saat ini, sehubungan dengan makanan junk food yang mudah didapat. Ternyata menurut analisa terakhir yang dipublikasi di tanggal 28 Februari 2017 dijurnal British Medical Journal, pada individu kelebihan berat badan dan obesitas terjadi penumpukan kelebihan lemak tubuh sehingga terbukti dapat meningkatkan beberapa risiko kangker yaitu oesophageal adenocarcinoma, multiple myeloma, dan cancer dari bagian lambung yaitu cardia lambung , kolon, rektum, saluran empedu/kantung empedu, pankreas, payudara, endometrium, ovarium, dan ginjal.1

Chitosan dikenal dengan deacetylated chitin, merupakan derivatif alami dari polycationic linear polysaccharide dari deasetilasi sebagian dari chitin. Chitin merupakan elemen dalam struktur eksoskeleton serangga, krustasea (udang-udangan dan kepiting) ,dan dinding sel dari jamur, dan polysaccharide alami kedua yang sangat berlimpah setelah selulosa. Karakterisitik yang menarik dari chitosan seperti biokompatibilitas, tidak toksik, rendah alergi, dan biodegradasi memungkinkan digunakan dalam berbagai aplikasi.2

Chitosan dipasarkan sebagai supplemen makanan atau nutraceutical untuk menurunkan serum kolesterol dan mengontrol obesitas. Chitosan tidak secara khusus dicerna dalam saluran pencernaan. Chitosan akan mengembang dengan mengisi saluran pencernaan, sehingga memberikan rasa kenyang. Dengan tidak dicernanya chitosan maka aktivitas lipase pankreas tidak berfungsi/berkurang, sehingga lemak dapat diendapkan dan mengurangi penyerapan lemak dari makanan di usus. Sifat kationik dari chitosan mengikat grup karboksil yang memiliki sifat anionik dari asam lemak dan asam empedu, hal ini juga menganggu emulsifikasi lipid seperti kolesterol, dan sterol lain dengan mengikat mereka oleh interaksi hidrofobik, oleh karena hal ini penyerapan lemak dan kolesterol di saluran cerna berkurang.2

Sebuah penelitian dengan design acak, tersamar ganda, plasebo kontrol, sebanyak 150 pasien kelebihan berat badan dibagi menjadi 3 grup yaitu grup yang menggunakan chitosan, grup yang menggunakan plasebo, dan grup kontrol. Pada grup chitosan diberikan chitosan sebanyak 500 mg / hari dan kedua grup yaitu chitosan dan plasebo menggunakan pedometer selama waktu berjalan dan direkam. Grup kontrol mengikuti program penurunan berat badan yang dipilih. Yang dinilai adalah dual energy X-ray absorptiometry test, kimia darah puasa dan laporan pribadi mengenai tingkat aktivitas dan masukan kalori. Hasilnya dibandingkan pada grup kontrol, grup chitosan lebih banyak kehilangan berat badan (p<0,001) dan masa lemak (p=0,006). Dibandingkan dengan grup plasebo, grup chitosan lebih banyak kehilangan berat badan (p=0,03), persentase lemak (p=0,003), masa lemak (p=0,001) dan memiliki peningkatan komposisi tubuh yang lebih baik (BCI) (p=0,002). Kesimpulan dari data penelitian ini memperlihatkan bukti efektifitas komponen chitosan untuk menfasilitasi penipisan kelebihan lemak tubuh dalam kondisi pola hidup biasa dengan mengurangi lemak atau masa tubuh.3

Sebuah analisa chocrane review dari berbagai penelitian yang dipublikasi dengan total subjek 1.219 pada tahun 2008, menunjukkan chitosan secara signifikan menurunkan berat badan (perbedaan rata-rata berat badan -1.7 kg; 95% confidence interval (CI) -2.1 hingga -1.3 kg, P<0,00001), menurunkan kolesterol total (0,2 mmol/L [95% CI -0.3 hingga -0.1], P<0,00001), dan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik dibandingkan dengan plasebo. Kesimpulan analisa review ini chitosan efektif dibandingkan plasebo dalam pengobatan jangka pendek untuk kelebihan berat badan dan obesitas.4

Namun, kesuksesan dan lama waktu terapi untuk mencapai target berat badan diperlukan pola makan dan pola hidup yang baik. Mengkonsumsi supplemen untuk penurunan berat badan tidak ada artinya bila tidak dibarengi dengan pola hidup yang baik (olahraga) dan asupan yang dikurangi. 

Referensi :
  1. Kyrgiou M, Kalliala I, Markozannes G, Gunter Marc J, Paraskevaidis E, Gabra H et al. Adiposity and cancer at major anatomical sites: umbrella review of the literature.  BMJ 2017; 356 :j477.
  2.  Chi Fai Cheung R, Bun Ng T, Wong J H, Chan W Y. Review chitosan: an update on potential biomedical and pharmaceutical applications. Mar. Drugs 2015;13:5156-86.
  3. Kaats G R, Michalek J E, Preuss H G. Evaluating efficacy of a chitosan product using a double-blinded, placebo-controlled protocol. Journal of the American College of Nutrition. 2006;25(5):389–94.
  4. Jull AB, Ni Mhurchu C, Bennett DA, Dunshea-Mooij CAE, Rodgers A. Chitosan for overweight or obesity (review). Cochrane database of systematic reviews. 2008, Issue 3. Art. No.: CD003892. DOI: 10.1002/14651858.CD003892.pub3. Available from : https://www.researchgate.net/publication/51419945_Chitosan_for_overweight_or_obesity.

Arthritis dan Pengobatannya


Arthritis atau biasa disebut reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya. Masyarakat pada umumnya menganggap reumatik adalah penyakit sepele karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, jika tidak segera ditangani reumatik bisa membuat anggota tubuh menjadi tidak berfungsi dengan normal, mulai dari tonjolan-tonjolan pada sendi, sendi kaku, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. Rasa sakit yang timbul bisa sangat mengganggu dan membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari.1

Menurut data tahun 2009, angka prevalensi reumatik nasional adalah sebesar 32,2%, prevalensi reumatik tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Jawa Barat yaitu 41,7% diikuti oleh Provinsi Papua Barat sebanyak 38,2% dan Nusa Tenggara Timur 38%. Prevalensi reumatik terendah terdapat di provinsi Sumatera Utara sebanyak 20,2% dan Kepulauan Riau sebanyak 17,6%. Terdapat sembilan provinsi, yaitu NAD, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Kalimatan Selatan dan Papua Barat, dengan angka prevalensi reumatik di atas angka Nasional. Sedangkan yang berada dibawah angka prevalensi nasional ada 24 provinsi.1

Reumatik merupakan salah satu penyebab nyeri sendi, khususnya sendi-sendi kecil didaerah pergelangan tangan dan jari-jari. Keluhan kaku, nyeri dan bengkak akibat penyakit reumatik dapat berlangsung terus menerus dan semakin lama semakin berat, tetapi ada kalanya hanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan pengobatan. Namun demikian, kebanyakan penyakit reumatik berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Keluhan kaku dan nyeri sendi pada penyakit reumatik adakalanya disertai oleh perasaan mudah lelah
.1

Pada 13 Desember 2016 EULAR mengeluarkan rekomendasi untuk penatalaksanaan awal pada arthritis, berikut ini adalah rekomendasi EULAR 2016 untuk penatalaksanaan awal pada arthritis :2
  1. Pasien yang memperlihatkan gejala arthritis (pembengkakan pada sendi-sendi, dengan sakit atau kekakuan) harus dipastikan, dan dilihat oleh rheumatologist, selama 6 minggu dari awal setelah munculnya gejala.
  2. Pemeriksaan klinis merupakan pilihan metode dalam mendeteksi arthritis, yang dapat dikonfirmasi menggunakan ultrasonography.
  3. Jika diagnosa pasti belum dapat ditegakan dan pasien dengan diagnose awal arthritis undifferentiated sebaiknya dipertimbangkan dalam keputusan pengobatan bila terdapat, faktor risiko untuk menjadi penyakit presisten dan/atau erosive, termasuk jumlah sendi yang bengkak, fase reaksi akut, faktor reumatik, ACPA (Anticitrullinated peptide antibodies) dan penemuan imaging.
  4. Pasien yang memiliki resiko presisten arthritis sebaiknya dimulai dengan pengobatan DMARD (Disease-modifiying antirheumatic drugs) secepatnya (idealnya dalam 3 bulan), meskipun jika belum memenuhi kriteria klasifikasi penyakit reumatik.
  5. Diantara DMARD, methotrexate dianggap menjadi obat utama, kecuali kontraindikasi, sebaiknya menjadi bagian strategi pengobatan pertama pada pasien yang memiliki risiko penyakit presisten.
  6. NSAID (Non Steroid Anti Inflamastory Drugs) efektif dalam pengobatan gejala tetapi sebaiknya digunakan pada minimum dosis efektif dengan waktu yang pendek, setelah dilakukan  evaluasi risiko gastrointestinal, ginjal dan kardiovaskuler.
  7. Glukokotrikoid sistemik mengurangi nyeri, pembengkakan dan perubahan struktur yang progressive, tetapi dengan efek samping yang banyak, sebaiknya digunakan pada dosis terendah sementara (<6 bulan) sebagai pengobatan tambahan. Injeksi intra artikular glukokortikoid sebaiknya dipertimbangkan untuk mengurangi inflamasi lokal yang terjadi.
  8. Goal utama dari pengobatan DMARD adalah tercapainya remisi klinis, dan monitoring aktivitas reguler penyakit, efek samping dan komorbitas sebaiknya menjadi pertimbangan dalam panduan keputusan dan merubah strategi pengobatan untuk mencapai target.
  9. Monitoring aktifitas penyakit sebaiknya memperhitungkan sendi yang rusak dan bengkak, penilaian secara umum pasien dan dokter, ESR (Erythrocyte sedimentation rate) dan CRP (C reactive protein), biasanya dengan menerapkan pengukuran gabungan. Aktivitas arthritis sebaiknya dinilai dalam interval 1-3 bulan sampai target pengobatan diraih. Hasil radiologi dan masukan pasien dinilai, seperti penilaian fungsi, dapat digunakan untuk pemantauan tambahan pengelolaan penyakit.
  10. Intervensi non-farmakologi, seperti latihan yang dinamis dan terapi okupasional, sebaiknya dipertimbangkan sebagai tambahan dalam pengobatan pada pasien dengan awal arthritis.
  11. Merokok dihentikan, perawatan gigi, kontrol berat badan, penilaian status vaksin dan pengelolaan kormobid sebaiknya menjadi bagian perawatan pasien keseluruhan pada pasein dengan awal arthritis. 
  12. Informasi pasien mengenai penyakit, hasil (termasuk kormobid) dan pengobatan adalah penting. Program edukasi yang bertujuan untuk mengatasi rasa sakit, disabilitas, kemampuan pemeliharaan untuk bekerja dan partisipasi sosial dapat digunakan sebagai intervensi tambahan.
Pada rekomendasi diatas disebutkan bahwa golongan DMARD merupakan pilihan utama dalam kasus awal arthritis. DMARD memiliki kepanjangan adalah Disease-Modifying Antirheumatic Drugs. Disease-modifying drugs bertindak pada sistem imun dalam memperlambat progres dari rheumatoid arthritis (RA). Oleh karena itu disebut sebagai "disease-modifying". Beberapa obat yang dikenal sebagai DMARD pada pengobatan RA, yaitu :3, 4
  1. Methotrexate merupakan DMARD yang paling sering digunakan, karena menampakan kerja yang baik dan lebih baik dibandingkan obat lainnya, relative ekonomis dan umumnya aman. Efek samping yang muncul bisa kemerahan dan ketidaknyamanan pada perut, toxic pada liver dan tulang, dan dapat  menyebabkan cacat lahir. Pada kasus yang jarang, dapat menyebabkan sesak nafas, pemberian asam folat membantu mengurangi efek samping. Keuntungan terbaik methotrexate yaitu telah terbukti aman untuk digunakan dalam jangka waktu lama dan bahkan dapat digunakan pada anak-anak.
  2. Hydroxychloroquine merupakan obat yang dikenal sebagai obat malaria, digunakan juga sebagai second line antireumatik karena memiliki efek menghambat aktivitas rheumatoid arthritis, namun kurang efektif dibandingkan emas dan penicillamine Efek samping yang utama adalah kerusakan pada retina. 
  3. Sulfasalazine digunakan pada RA dan ankylosing spondilitis dan inflammatory bowel disease, dapat dikombinasikan dengan DMARD lainnya jika pasien kurang berrespon secara adequate.
  4. Leflunomide bekerja sama baiknya dengan methotrexate dan dapat bekerja lebih baik dalam kombinasi dengan methotrexate. Diketahui menyebabkan gangguan janin, diperlukan pencegahan khusus untuk mencegah kehamilan.
  5. Minocycline merupakan antibiotik yang tidak sering diresepkan. Tetapi dapat membantu pasien RA dengan meniadakan inflamasi. Memerlukan waktu beberapa bulan untuk obatnya bekerja dan tahunan untuk mendapatkan efek yang full. Dalam penggunaan dalam jangka waktu yang lama, minocycline dapat menyebabkan perubahan warna kulit.
Referensi :
  1. Nainggolan O, Prevalensi dan determinan penyakit reumatik di Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009;59(12):588-94.
  2. Combe B, Landewe R, Daien C I, Hua C, Aletaha D, Alvaro-Garcia J M, et al. 2016 update of EULAR recommendations for the management of early arthritis. Ann Rheum Dis. [citied 2017 Jan 16]. Available from : http://ard.bmj.com/content/early/2016/12/15/annrheumdis-2016-210602.full.
  3. Zelman D. Treating rheumatoid arthritis with disease-modifying drugs (DMARDs). WebMD Medical Reference. 2016 [citied 2017 Jan 17]. Available from: http:// http://webmd.com/rheumatoid-arthritis/guide/dmard-rheumatoid-arthritis-treatment#1.
  4. Pavelka Jr K, Pavelka Sen K, Peliskova Z, Vacha J, Trnavsky K. Hydroxychloroquine sulphate in the treatment of rheumatoid arthritis: a double blind comparison of two dose regimens. Annals of the rheumatic disease. 1989;48:542-6.

Jumat, 22 Maret 2019

Penanganan nyeri punggung (Low Back Pain)


Nyeri punggung bagian bawah atau Low back pain (LBP) merupakan kasus yang sering ditemui dan menjadi penyebab pasien berkunjung ke dokter, karena nyeri sangat menggangu aktivitas dan berkurangnya produktifitas.

Nyeri LBP dibagi menjadi 3 bentuk yaitu akut, subakut dan kronis.  Akut umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu dan biasanya sembuh sendiri, Subakut umumnya berlangsung 4 minggu – 12 minggu , sementara nyeri punggung kronis berlangsung lebih dari 12 minggu.

American College of Physician mengupdate penatalaksanaan LBP yang dipublish tanggal 14 Februari 2017 dengan mengeluarkan 3 rekomendasi sbb :
  1. Mengingat bahwa kebanyakan pasien dengan LBP akut dan subakut tanpa diberikan  pengobatan, meningkat progresifitasnya seiring  waktu, dokter dan pasien harus memilih pengobatan nonfarmakologi dengan memberikan kehangatan superfisial (moderate-quality evidence), massage, akupuntur, atau memanipulasi tulang belakang (low-quality evidence). Jika pengobatan farmakologi diinginkan, dokter dan pasien harus memilih NSAID atau muscle relaxants (moderate-quality evidence). (Grade: Strong recommendation).
  2. Untuk pasien dengan LPB yang kronis, dokter dan pasien harus memilih pengobatan awal nonfarmakologi dengan olaharaga, rehabilitasi multidisiplin, akupuntur, mengurangi stress (moderate-quality evidence), tai chi, yoga, latihan motorik yang terkontrol, relaksasi progesif, electromyography biofeedback, terapi laser dengan tingkat yang rendah, operant therapy, terapi prilaku kognitif, atau manipulasi tulang belakang (low-quality evidence). (grade: Strong recommendation).
  3. Pada pasien dengan LBP kronis yang telah menghasilkan respon dari pengobatan nonfarmakologi, dokter dan pasien harus mempertimbangkan pengobatan menggunakan NSAID sebagai first-line therapy, atau tramadol atau duloxetine sebagai second-line therapy. Dokter juga harus mempertimbangkan gol. Opioid sebagai pilihan pada pasien yang gagal dalam pengobatan sebelumnya dan hanya jika potensi manfaat lebih besar daripada risiko untuk pasien (Grade: weak recommendation, moderate-quality evidence).
Pada guideline ini tidak membahas posisi dan penggunaan obat topikal, suntikan epidural dan NSAID selektif Cox-2.


Referensi :
1.  Qaseem A, Wilt T J, McLean R M, Forciea M A. Noninvasive treatment for acute, subacute, and chronic low back pain: A clinical practice guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2017. Available from : http://annals.org/aim/article/2603228/noninvasive-treatments-acute-subacute-chronic-low-back-pain-clinical-practice.